BANDA ACEH – Pengurus Besar Rabithah Thaliban Aceh (PB RTA) menegaskan bahwa kondisi bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh telah mencapai tingkat kedaruratan yang memerlukan intervensi nasional segera.
Situasi di Aceh telah melampaui kapasitas pemerintah daerah, dengan kerusakan infrastruktur vital, terputusnya jalur transportasi utama, serta isolasi total pada sejumlah wilayah yang berpenduduk padat.
Berbagai laporan atas kondisi terkini menunjukkan kerusakan yang parah dan situasi warga yang semakin kritis. Fakta-fakta krusial yang menjadi dasar desakan PB RTA kepada pemerintah pusat antara lain:
1. Dua kabupaten—Aceh Tengah dan Bener Meriah—terisolasi total, dengan seluruh jalur darat tertutup longsor dan jembatan vital ambruk. Bantuan hanya dapat dijangkau melalui udara sementara stok bahan makanan, obat-obatan, dan BBM dilaporkan menipis pada tingkat yang sangat membahayakan.
2. Sedikitnya empat hingga lima jembatan utama di Aceh ambruk, termasuk jembatan Meureudu/Simpang Tiga di Pidie Jaya, jembatan Kutablang di Bireuen, dan beberapa jembatan rangka baja penghubung Bireuen–Pidie Jaya–Pidie. Kerusakan ini memutus jalur Banda Aceh–Medan dan menghentikan arus logistik, evakuasi, dan mobilitas darurat.
3. Ribuan warga Aceh di wilayah pesisir dan dataran tinggi mengalami gangguan akses total, dengan titik-titik pengungsian melaporkan kekurangan air bersih, makanan siap saji, dan layanan kesehatan dasar.
4. Jalur Medan–Aceh Timur–Aceh Utara masih terhambat, menyebabkan bantuan dan pasokan logistik dari Sumatera Utara tidak dapat masuk secara optimal.
5. Jaringan komunikasi dan internet di banyak wilayah Aceh putus total, terutama di daerah terisolasi seperti Aceh Tengah, Bener Meriah, serta beberapa kawasan di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Pidie Jaya, dan Pidie. Putusnya jaringan ini menyulitkan koordinasi SAR, menghambat laporan kondisi warga, memperlambat distribusi logistik, dan menghalangi upaya pemerintah daerah dalam memberikan peringatan kedaruratan.
6. Korban jiwa dan hilang terus meningkat, sementara banyak wilayah belum terpetakan secara lengkap akibat hambatan akses dan ketiadaan sinyal komunikasi.
7. Meskipun bencana terjadi secara luas di Sumatra, tingkat kerusakan, tingkat isolasi, dan keruntuhan infrastruktur di Aceh menempatkan provinsi ini sebagai episentrum krisis yang harus menjadi prioritas nasional.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, kondisi Aceh telah memenuhi seluruh indikator penetapan Bencana Nasional, termasuk skala dampak, banyaknya korban, rusaknya infrastruktur vital, terhambatnya komunikasi, dan ketidakmampuan pemerintah daerah untuk mengendalikan situasi tanpa dukungan penuh pemerintah pusat.
Atas dasar itu, PB RTA mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk segera menetapkan bencana Aceh sebagai Bencana Nasional dan mengaktifkan operasi penyelamatan terpadu yang melibatkan TNI/Polri, BNPB, Basarnas, Zeni TNI, serta kementerian terkait, termasuk pengerahan pesawat angkut, helikopter, dan pembukaan jalur darurat di wilayah terisolasi.
“PB RTA menuntut tindakan dan kebijakan secara nasional yang cepat dan terkoordinasi. Dengan dua kabupaten terisolasi total, jembatan-jembatan vital ambruk, komunikasi terputus, dan ancaman kelaparan yang nyata, penetapan status Bencana Nasional bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Setiap penundaan berarti mengorbankan nyawa rakyat Aceh.”
PB RTA mengajak seluruh media, lembaga kemanusiaan, dan masyarakat luas untuk memusatkan perhatian pada kondisi Aceh dan mempercepat penyaluran bantuan. PB RTA siap berkoordinasi langsung dengan BNPB, TNI/Polri, serta lembaga terkait untuk mendukung operasi penyelamatan.[]






